Kacamata
Tak ada sesiapa
hanya kaca dan mata
sejoli yang saling jaga:
lamur dan akurat.
Dan aku si lamur yang uzur
kadang pada jam aku mendengkur
kata-kata merajuk ingin diterka
seperti petak-umpet yang jenaka.
Tentu aku suka permainan ini
keseksamaan yang sarat naluri
terlebih ketika nyaris pada premis
atau ganjil yang terus menggubris.
Dan si akurat yang kilat
dengan kejernihan yang minus
dari jauh maupun pendeknya radius
segenap yang membayang pun jadi pantas.
Selagi malam yang senyap kedap
berdua perlahan mencerap
meski sesekali tertegun
atau seketika membuncah.
Di antara celah-celah kalimat
dan noktah yang menyekat jeda
kerap mata dan kaca
melenggang kepayang.
Lalu ke mana lagi keingintahuan ini
bersinambung, atau direhatkan?
Depok, 2014
Menulis Amsal
Pada latar yang kosong
aku tulis amsal
cicak bunyi sekonyong
malam semakin lorong.
Ada seorang di celah tik tok
duduk bergumul asap
tatapannya yang bolong
menetesi sedan sepotong.
Aku menghimbau sekata
ia menghela sejumlah gema
aku perkecil sedikit sela
ia bergeser angka berikutnya.
Di ruang yang awang
ku rangkum ihwal sebelum
kucing sesekali mengeong
cicak tinggal bangkai sekonyong.
Tak ada duka selintas pun
hanya untaian bekas seluruh
malih rupa jadi kata
lalu bahasa lalu makna.
Depok, 2014.
Halte Merah
: Nermi Arya
Pukul empat sore.
Selembar berkas menyeduhkan ruang,
secangkir kopi di dalam tas punggung,
dan puisi, serta sekotak kunang-kunang
menuliskan alamat di punggung.
Masih lamakah pemberhentian itu?
Aku ingin duduk di halte berwarna merah
memandangi gadis kecil berponi
berjalan maju mundur dengan sepatu yang kelaparan.
Waktu mengetuk-ngetuk jendela, membuat asin leher
dengan pintu meruapkan bau terbakar.
Suara kereta membawaku pada aroma kamar
tertinggal di ujung rambut
membuat tanggal di seluruh gerbong.
Sementara kau tersenyum pada bantal
aku berjalan bersama kota
yang tak lagi punya mata.
Pasar Minggu, 2014