Prabhasa
Aku tengah dimabuk cinta, Wasistha, ketika kau
kutuk aku menjadi lumpur di dasar sungai.
Nandini hanya gelang kaki bingkisan wasu
untuk sejumput rekah di merah wajah
penghias kekanakan; ditaburi kidung penuh
puja juga kuncup-kuncup rupa warna.
Tapi kau benamkan aku ke dalam Gangga
antara wangi dupa, ketuaan yang mengoceh
seperti gembala pada ternak, juga karma
dari busur dan panah para ksatria.
Mengapa tak kau biarkan aku mati di rahim ibu
laksana tujuh dewa, bergegas menuju pulang, sebelum
anjing dungu memelas penuh berahi, sebelum cacing
memamah biak di jantung, sebelum Arjuna mengokang busur.
2015
Amba
Namaku Amba; kijang berkepala perempuan.
Lututku pernah gemetar, untuk setiap panah, dilepaskan
bersama kalungan bunga, asap dupa dan sari berwarna
darah; mengusungku dengan keranda menuju halaman istana.
Ayahku tak menitipkan peta apalagi senjata
hanya kaki-kaki ramping, berlarian memanjangkan
silsilah dari sisi ranjang, dan Salwa tak lebih
sapi dungu Saubala, melenguh ketika
Bhisma kegirangan memerangkapku
dari taman raja sebagai persembahan.
Namaku Amba, kutinggalkan kisah-kisah
yang memenjarakan, setelah mondar-mandir
dan menjadi gila karena mengutarakan cinta.
Aku menjelma melankoli, tersungkur
pada halaman-halaman, disesaki
para dewa, raja perkasa, kesatria, raksasa,
gandarawa, bahkan anjing Hastinapura.
2015
Kutukan Bunga Teratai
Sebab teratai menjuntai di lehermu, Amba
denting pedang amsal kaing anjing
berkabar tentang ksatria tanpa peperangan
Anak panah menjelma kanak
kikuk, menyembul di lengkung dada ibu.
2015
Senandung Dewi Gangga
Semestinya, tak kuperdaya Sentanu hingga ke ranjang tidur
atau menghanyutkan anak-anakku seperti kotoran ke sungai.
Aku perempuan dungu, terperangkap di sepasang kaki:
rengekan manja dewa-dewa dan kisah-kisah bermuka lelaki.
Susu sapi persembahan tak akan mampu
menghapus jejak bindi di langit Hastinapura
Sementara dengung mulut pendeta, sediakala
menjelma gema terompet di medang perang.
2015
Srikandi
Panah terakhir yang mencium dadamu, Bhisma
tabuh gendang dan gemericing gelang kaki di ruang
istana yang lengang, dan aku seumpama angin
menyampaikan gema penuh suka cita ke telingamu.
Dari kereta kuda ini, sekelok senyum Arjuna pun
tak lebih rupawan dari selarik kidung yang berjatuhan
bersama jejak panjang air mata di wajahmu;
Anak panah ini milik Arjuna,bukan Srikandi.
2015